LiputanBMR-Pengalaman berkesenian telah memberi penyadaran diri tentang indahnya kehidupan. Ada hubungan dialektika secara fundamental antara seniman dan karyanya. Secara eksternal seniman bergelut dalam aktivitas keseniaan untuk dapat melahirkan karya seni ke dalam realitas obyektif. Dari sanalah kesadaran subyektif akan tumbuh melalui proses internalisasi ke dalam realitas diri.
Misalnya seorang aktor dengan goresan dusta adalah perbuatan tercela, berarti dirinya bukan pendusta. Nampak disini bahwa etika dan estetika dalam karya seninya sekaligus menjadi etika dan estetika kesenimannya. Sebagai sebuah realitas diri, karyanya telah membentuk dirinya sehingga berpengaruh pada perilakunya, aktivitasnya, serta gaya hidupnya di masyarakat. Karya yang indah telah membentuk dirinya menjadi indah dalam hidupnya. Disinilah karya seni menjadi cermin kehidupan bagi dirinya bahkan dapat pula menjadi perenungan bagi orang lain yang mencernanya.
Di kala realitas diri tidak lagi sejalan dengan realitas obyektif yang diusung di atas pentas, di saat itulah dimensi kemanusiaan akan menjadi sebuah pertanyaan. Walaupun gelaran seninya menyentuh rasa dan nalar dari sebuah kebenaran, tetapi realitas dirinya tidak hanyut bersamanya, berarti kita masih saja bersembunyi di balik karya itu – maka kitapun menjadi tidak jujur di depan diri kita sendiri. Kita menjadi mata yang tak dapat melihat, hidung yang tak dapat mencium dan telinga yang tak dapat didengar.
Di kala rasa dan nalar mengalir bersama ke dalam realitas obyektif dalam mengagungkan yang Ilahi, mengagumi alam sebagai karuniaNya, dan menghargai sesama manusia sebagai ciptaaanNya, dan sementara itu pula kita diperhadapkan dengan kenyataan-kenyataan tragis dan memilukan apakah itu bencana, pembunuhan, perkosaan, pengrusakan dan lain sebagainya, maka disaat itu pula kita berada di dalam suka dan duka, harapan dan kenyataan; mengapa diri ini ada, bagaiman seharusnya, dan kemana perginya?
Persoalannya adalah maukah dengan jujur kita berjalan bersama realitas obyektif walau dada rasa sesak?
Saya yakin, bahwa Festival Seni Budaya Sulawesi Utara yang kurun waktu 10 tahun ini di bangun Benny J. Mamoto menangkap dan telah menjawab refleksi pribadi saya tersebut diatas.
Catatan: Merdeka Gedoan,
Ketua Harian Dewan seni Budaya Sulawesi Utara